Berjalanlah pelan-pelan

Table of Contents

Akhir-akhir ini semua seperti memuncak Basineng. Kerikil kecil yang berserakan sebagai figuran, berkumpul dan membatu menjadi tembok yang besar. Tembok yang pelan-pelan jatuh dan memaksa kita untuk menahannya. 

Ternyata memendam adalah langkah yang salah. Sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Ia malah berbalik menjadi bumerang dan siap mengejar kita yang masih belum bisa berdiri tegap karena masa lalu yang tidak selesai.

Tapi itu bukan salah kita Basineng. Kita hanya anak kecil yang dipaksa dewasa tanpa arahan dan ajaran yang tepat. Kita menyembunyikan rasa takut dan ketidakmampuan untuk berdamai dengan masa lalu karena betul-betul tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.

Kita saling bertatapan tanpa mengatakan satu katapun. Aku tahu apa yang kau pikirkan, kita sudah melalui segala sesuatunya bersama-sama sejak kelas dua di sekolah dasar. Dan sekarang, kita sedang melihat butir-butir kerikil yang mnegeras menjadi tembok, yang dengan cepat jatuh di atas kita. Bahkan dengan bersamapun, masih terasa berat untuk menyingkirkannya. 

Sesak dan tidak bisa berbuat apa-apa, adalah rasa yang sedang berputar dalam kepala dan bathin kita. Serak meraung di dalam hati, air matapun mengering sebelum terjatuh. Dan kita akhirnya sadar Basineng, kita belum selesai dengan masa lalu. 

Mungkin akan sulit, tapi kita tidak bisa seperti ini seterusnya. Kita sudah melalui banyak hal, belajar banyak hal, dan mengejar banyak hal. Kita tidak bisa mengorbankan masa depan kita hanya karena luka yang mengeras dan membatu di dalam kepala kita. Kadang memang sulit untuk mengontrolnya, tapi kita bisa berjalan pelan-pelan, melepasnya pelan-pelan, mengobatinya pelan-pelan. 

Jangan sampai kita menjadi luka bagi orang lain, menjadi sakit bagi mereka yang sudah mendekap kita ketika jatuh. 

Seperti yang pernah kau katakan padaku Basineng, ketika kita sama-sama menangis di bawah pohon pinus belakang sekolah, momen dimana kau dan aku sedang rindu pada sosok yang kita berdua tidak tahu sedang di mana, 

"Kita tidak terlahir dalam kesempurnaan hidup, kita bernafas di dunia, diberi kebahagiaan sebentar, lalu di uji dengan jalan hidup yang berbeda dari yang lainnya. Kita mungkin memang berbeda, jalan hidup kitapun tak semulus dengan mereka-mereka, tapi biarkan rasa syukur yang menjadi selimut kita, dan rapal doa di sepertiga malam yang menjadi tongkat kita untuk berjalan, walau tergopoh yang penting kita tidak menyerah di pinggir jalan." 

Kau mengatakan itu sembari menghapus air matamu. Kata-kata yang sebenarnya kau tujukan bukan hanya pada diriku, tapi juga pada dirimu yang bernasib jauh lebih menyedihkan dibandingkan aku.

"Aku yakin Tuhan ingin kita kuat. Memberikan pertanyaan yang sudah ada di buku, bukanlah sebuah pertanyaan untuk mereka-mereka yang sudah khatam, memberikan pertanyaan di luar itu untuk melihat bagaimana kita membangun benang merah dan menerapkan tiap kata dari tiap buku adalah untuk mereka yang ingin dibentuk menjadi hebat."

Aku masih sesegukan, kau mulai tenang, tangismu tak lagi terdengar. Kenangan dua puluh tahun lalu.

"Dan sekarangpun masih sama Basineng. Kita kembali berjuang untuk menambal diri kita kembali, mengangkat tembok yang semakin berat menekan. Di tengah rasa sesak dan penyesalan, jangan sampai kita lupa, kita sudah sejauh ini, dan yakinlah kita masih bisa berjalan lebih jauh lagi. Seperti yang kita lakukan di hari-hari yang lalu."

Tersenyumlah. Berjalanlah pelan-pelan kawan.



Post a Comment