Mencari Diri Sendiri

Table of Contents
Hari ini kau terlihat sangat sibuk Basineng. Sudah lebih dari lima jam ku lihat kau berada di dalam ruang sempit berukuran 3 x 4 meter itu. Ruangan yang dulunya menjadi kamar kita bersama dua anak lainnya. Kamar yang menjadi saksi segala cerita dan rahasia masa kecil kita. Kau sibuk menata ulang dan membersihkan sampah-sampah kecil yang bersembunyi di bawah tempat tidur dan tertutup debu yang tebal. Sesekali kau bersin dikarenakan debu-debu yang ikut terhempas saat kau mulai mengeluarkan berbagai jenis benda dari bawah tempat tidur tersebut. Ban mobil-mobilan, lego yang tak lagi utuh, sampai pada pesawat terbang dari kertas yang sudah berubah menjadi kecoklatan warnanya. 

Aku tahu kau bukan orang begitu tahan dengan debu. Berpapasan dengan tebaran bedak putih saja kau sudah bersin berulang kali. Tapi kenapa hari ini kau begitu bersemangat membersihkan kamar yang sebenarnya tak lagi kita tempati. Kita hanya punya waktu tiga hari liburan, dan satu hari ini kau menghabiskannya hanya untuk membersihkan kamar itu.

"Adakah sesuatu yang sedang kau cari Basineng? Kenapa tiba-tiba kau menyibukkan diri mengais debu dari kolong tempat tidur yang sudah mulai lapuk." Tanyaku di depan pintu kamar tanpa mau masuk ke dalam karena debu yang beterbangan.

"Aku tiba-tiba teringat akan banyak hal yang berkaitan dengan kamar ini kawan. Di kamar ini ada banyak cerita yang kita bagikan, begitu banyak rahasia yang kita titipkan, dan begitu banyak air mata yang kita sembunyikan, begitupun dengan tawa yang kita lepaskan. Kamar ini adalah ruang dimana kita bertumbuh dan menyulam mimpi, secara kiasan ataupun harfiah." Jawabmu tanpa memalingkan pandangan dari sapu yang kau pegang sambil menundukkan kepala untuk melihat benda apa lagi yang ada di bawah tempat tidur.

"Kenapa tiba-tiba kau begitu melankolis Basineng. Kita juga hanya tiga hari di sini, marilah kita berkeliling dan menyapa teman-teman lama" Lanjutku.

"Entahlah, beberapa minggu terakhir ini, langkahku selalu berat. Terasa ada banyak sekali beban yang menempel di punggungku tanpa sanggup untuk kulepas. Semua bertumbuh dan berusaha menyelimuti diriku. Aku tidak tahu lagi bagaimana rasanya menjadi seorang anak yang dengan damai bisa berlarian di lapangan, tertawa dengan lepas, menangis sekeras-kerasnya, berteriak sejadi-jadinya, tanpa harus memikirkan apa lagi setelah itu. Kita tertawa karena kita memang sedang tertawa, kita menangis karena memang kita sedang menangis, kita berteriak karena memang kita sedang berteriak." Ucapmu dengan masih memegang sapu, sudah setengah dari kamar sudah selesai kau sapu bersih.

"Akhir-akhir ini, aku tertawa bukan karena aku betul-betul ingin tertawa kawan, aku menangis bukan karena aku betul-betul ingin menangis. Sebagai orang yang telah tumbuh sedewasa ini, pada akhirnya kita adalah anak kecil yang justru semakin tidak mampu untuk mengekspersikan diri. Kita terjebak pada dimensi di mana setiap ulas senyum harus memiliki arti dan tujuan, setiap tawa yang tergelak harus memiliki niatan di dalamnya. Pada akhirnya, tidak ada kejujuran dalam senyum, tawa ataupun tangis yang kita lontarkan." Lanjutmu. Kali ini kau terdiam dan hanya memandang ujung sapu ijuk yang mulai merenggang dimakan usia.

"Lalu, apa hubungannya dengan kau membersihkan kamar ini Basineng?" Tanyaku sedikit bingung. Aku belum bisa menarik benang merah antara beban yang baru saja kau ceritakan, dengan kamar berdebu yang sedang kau bersihkan.

"Secara harfiah, tak ada sama sekali hubungan antara debu di kamar ini dan beban tak kasat mata yang sedang bertengger di pundakku. Tapi, dengan berada di sini, aku ingin kembali melihat diriku di masa yang lalu, bukan untuk menyesali setiap langkah yang telah kuambil dan kutapaki kawan. Tapi untuk mengingatkan diriku yang sekarang bahwa aku pernah sehidup itu. Aku pernah senaif itu. Aku pernah menggengam berpuluh-puluh mimpi tanpa khawatir akan resiko dari mimpi yang ku genggam. Aku pernah tertawa tanpa khawatir orang akan salah kaprah dengan gelak tawa itu, aku pernah menangis tanpa khawatir orang akan menganggapku cengeng karena meneteskan air mata." Kau tersenyum lalu mengambil sekop sampah di ujung kamar. Pelan-pelan kau mulai memindahkan sampah dilantai ke sekop sampah itu lalu membuangnya kembali ke dalam plastik sampah besar berwarna hitam.

"Apakah dengan itu ada yang berubah Basineng? Apakah beban yang bertengger itu lambat laun berkurang? Atau malah bertambah?" Tanyaku sekali lagi.

"Mungkin tidak banyak berkurang, tapi paling tidak aku kembali melihat diriku, aku kembali bisa memberikan cerminan pada diriku, bahwa dulu pun, kita yang bukan apa-apa bisa melangkah sejauh ini. Kita yang hanya bocah dari desa kecil di bawah kaki gunung Lompobattang akhirnya bisa merangkak ke ujung langit. Dan aku ingat, khayalan mu tentang benua Australia akhirnya berubah nyata. Dan dulu kau bukan siapa-siapa, hanya anak kecil yang berjualan bakwan di sekolah." Jawabmu.

"Aku hanya ingin mencari diriku yang lama, yang berani bermimpi walaupun tahu dirinya bukan apa-apa. Yang berani melangkah walaupun belum ada kepastian akan kemana ujung dari usaha yang kita lakukan. Karena, segala beban yang kini bersandar di pundakku, menjadikan ku lupa akan siapa diriku yang sebenarnya, siapa aku yang seharusnya." Lanjutmu. Kau lalu memberikan kantong hitam besar yang berisi sampah dan debu yang telah kau bersihkan, memberiku isyarat untuk membuangnya keluar.

Aku tidak bisa menimpali kalimat panjangmu yang terakhir. Karena aku sadar, akupun sedang ada di fase itu. Fase di mana aku lambat laun sudah lupa dengan diriku sendiri, berganti dengan sosok yang berusaha untuk menyenangkan semua orang selain diriku sendiri, sosok yang mengunci mimpinya untuk bisa mengejar mimpi orang lain. 

Aku berjalan keluar, sembari membawa kantong sampah yang tadi kau berikan kepadaku.


Post a Comment