Kita dan Ekspektasi Mereka

Table of Contents

Kita pernah punya mimpi Basineng. Kita pernah menjadi manusia yang berisikan angan-angan dan harapan tentang masa depan. Kala itu kau ingin menjadi nahkoda, yang melaut dan menyaksikan keajaiban yang tak terhingga yang ditawarkan oleh birunya samudera dan jingga senja. Aku ingin menjadi astronot, bermimpi untuk menghentakkan kaki pada ruang hampa luar angkasa dan melompat dengan ringannya di atas bulan.

Kita sering berdebat mimpi siapa yang paling hebat, kau sering bercerita tentang bagaimana dasar laut yang misterius, bagaimana cuaca bisa menjadi begitu menantang di luasnya lautan, dan bagaimana sedikitnya pengetahuan kita sebagai manusia tentang kehidupan di dalam lautan. Akupun tak ingin kalah dengan menceritakan bagaimana langit itu tidak terbatas, bagaimana indahnya bumi yang terlihat dari luar angkasa, dan juga tentang jutaan tata surya yang belum pernah kita ketahui.

Kita tumbuh dengan cita-cita itu. Sampai akhirnya kita terbentur pada realita. Bahwa tidak semua yang kita impikan akan serta merta menjadi jalan yang akan kita jalani. Kata orang terkadang kita harus menempuh jalan memutar untuk sampai ke tujuan, tapi sepertinya kisah kita berdua tidak demikian. Kita tidak sedang menapaki jalan memutar, kita sedang berjalan di setapak yang benar-benar berbeda. Kita sedang berjalan di atas ekspektasi yang menyesatkan.

Kita berjalan pada lingkaran tak berujung, lingkaran yang sealu mengarahkan kita pada setapak yang sama. Setapak dimana kita selalu risau dengan apa yang orang lain katakan. Setapak yang membuat kita tidak pernah berpegang pada apa yang kita yakini, melainkan kita selalu patuh dan tunduk pada apa yang orang lain pikirkan.

Kekhawatiran kita tentang ekspektasi orang lain menjadikan kita tidak pernah keluar dari lingkaran tersebut. Tidak pernah lagi kita berbicara tentang samudera yang luas dan angkasa yang tidak terbatas. Kita sibuk menambal diri kita dengan kritikan, anggapan dan prasangka orang lain. 

Kita kemudian mencoba bangkit dan mengambil jalan yang tak lagi berputar. Kita ingin keluar dari ekspektasi yang telah lama memenjarakan kita dalam siklusnya yang tidak terbatas. Namun, kita mendapati bahwa, orang lain bukanlah satu-satunya pelakon yang memasang belenggu pada jalan yang coba kita jalani. 

Di persimpangan jalan, kita pada akhirnya menemukan bahwa yang membangun tembok yang terjulang tinggi dan kokoh tidak lain adalah diri kita sendiri. Kita sendirilah yang pada awalnya membangun ekspektasi terhadap diri sendiri, namun sulit untuk mengobati diri sendiri ketika kita sedikit menyimpang dari apa yang kita ekspektasikan.

Ternyata, kita selama ini yang tidak sadar bahwa kita termakan oleh ekspektasi diri kita sendiri. Lalu menyalahkan orang lain. Padahal sekeras apapun orang lain meneriakkan belenggunya, jika kita memahami diri kita sendiri, apapun itu akan terpental. 

Pada akhirnya kita di sini Basineng. Bersama-sama berdiri pada pijakan yang mungkin tidak sesuai dengan apa yang kita angan-angankan, namun kita tahu kita bahagia. Di ujung jalan yang kita anggap tidak pernah berujung ternyata di setiap langkahnya ada tempat untuk bersinggah, ada tempat untuk saling bertukar cerita, apakah tentang kebodohan yang kita lakukan ataukan penyesalan yang kita tangisi. 

Kita kemudian sama-sama sadar bahwa, ekspektasi adalah sebenarnya adalah sebuah penantian dan pengharapan. Kita selalu mengharapkan bahwa di setiap persimpangan ada kebaikan yang akan datang menghampiri, dan lupa bahwa kebaikan itu bisa saja datang dalam bentuk ujian. Tapi jika kita memahami hakikat dari ekspektasi, pengharapan kita akan selau didampingin dengan keterbukaan bahwa tidak selamanya yang kita usahakan akan membawa kita pada hal kita inginkan, bisa saja ia membawa kita pada hal-hal yang kita butuhkan.



Post a Comment