Kebenaran Mutlak dan Hitam Putih

Table of Contents

Adalah kita manusia naif yang selalu berpegang pada idealisme gantung yang terlahir dari proses belajar yang nanggung. Membaca yang kita mau, mengabaikan yang sama sekali tak mendukung pemikiran kita. Kita pernah sesumbar itu berteriak tentang bagaimana harusnya sistem berjalan, tentang bagaimana harusnya kita mengkotakkan baik dan buruk, hitam dan putih. Basineng, kita pernah sengotot itu mengkritik hal-hal yang kita anggap tidak sesuai dengan aturan dan kesepakatan yang telah ditetapkan bersama.

Kita bahkan seberani itu bersuara keras dan menunjuk-nunjuk orang lain dengan amarah di ujung jari. Seakan-akan bahwa apa yang kita pahami adalah kebenaran yang mutlak, apa yang kita sampaikan adalah keharusan yang tidak terbantahkan.

Waktu berjalan Basineng, kita terus berjalan memegang idealisme tanpa toleransi. Idealisme yang membuat kita mampu dengan mudahnya membangun sekat untuk menjauhkan diri dari mereka yang kita pikir tidak sepemahaman. Kita mengabaikan faktor-faktor yang bisa saja menjadi titik temu dan penyulam benang merah dari perbedaan pendapat yang ada. 

Kita masih terus berjalan Basineng. Hingga pada suatu titik, kita terdiam dan kebingungan. Kita akhirnya tiba pada kenyataan bahwa hidup bukan sekadar hitam dan putih, bukan sekadar sepakat dan tidak sepakat. Kita akhirnya melihat bahwa selalu ada area abu-abu dalam hidup. 

Kita tiba pada titik itu setelah kita, yang dulunya menjadi orang-orang yang mengevaluasi sistem, menjadi orang yang berada dalam sistem. Kita akhirnya kebingungan ketika harus menentukan sebuah aturan yang harus bisa mewadahi banyak kepentingan tanpa harus mengorbankan kepentingan individu orang-orang yang berada di dalamnya.

Ternyata, kita dulu selalu berada pada satu sisi perahu, tanpa berpikir untuk berkeliling dan melihat dari sisi lain. Padahal itu bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan, satu-satunya yang menjadi penghalang adalah ego dan rasa benar membabi buta di dalam pikiran kita. 

Basineng, kita bukannya membuang rasa idealisme yang dulu selalu kita jadikan pijakan dalam menimbang keputusan. Kita hanya lebih berani untuk bisa mensejajarkan pikiran kita secara terbuka untuk bisa melihat pemikiran lain, yang mungkin saja bisa memperkaya atau menambah nilai pemikiran kita. Kita tidak meninggalkan buah pikiran kita karena merasa bersalah dengan kebodohan sikap masa lalu. Kita hanya semakin bertumbuh untuk memahami bahwa ada banyak cara untuk bisa melihat bahwa setiap pemikiran memiliki sudut pandang masing-masing, yang bisa saja memberikan gambaran kebenaran yang berbeda-beda tergantung darimana kita berdiri dan melihatnya.

Basineng, kita pada akhirnya paham bahwa terkadang berjalan di area abu-abu pemikiran kita, bisa membantu kita untuk menilai hitam dan putih dengan lebih bijak, tanpa harus membangun sekat untuk memisahkan keduanya. Semoga kita dan pemikiran kita bisa terus berkembang dan lebih terbuka untuk saling memahami perbedaan dengan cara yang lebih bijak. 



Post a Comment