Pengalaman dan kematangan berpikir
Basineng, apa kau ingat saat kita berada di sungai di arah barat kebun cengkeh kakek. Kita selalu bermain disana, menangkap belut atau sekadar merendam kaki kita yang baru saja menginjak lumpur bercampur kotoran kerbau.
Kita selalu suka bermain disana, merasakan dinginnya air yang sudah mulai tercampur dengan pestisida dari sawah yang berada disisi lainnya, sungai yang jernih tapi tak lagi aman untuk kita minum seperti waktu-waktu dulu.
Kita selalu suka untuk menghabiskan waktu sore disana, lokasi kedua yang paling sering kita datangi selain teras musallah di kompleks sekolah. Tempat yang tenang untuk bercerita tentang banyak hal.Suatu ketikak kau berceletuk, tentang seorang yang tua di kampung kita, yang begitu senang memamerkan umurnya yang sudah mencapai kepala enam, kepintarannya dalam berbagai hal dan bagaimana ia punya banyak pengalaman selama ia hidup.
Kau terkesan tidak suka dengan tetua itu, entah kenapa kau berlaku demikian.
Sore itu, aku coba bertanya kepadamu, mengapa kau tidak begitu senang dengan tetua itu.
Kau diam beberapa saat, lalu memandang rumpun pohon bambu yang bergoyang diterpa angin dari ujung sawah.
"Lama bekerja ataupun panjangnya usia tidak pernah bisa menjadi tolok ukur mutlak akan kematangan cara berpikir seseorang dan kedewasaannya dalam bersikap." ucapmu sambil mengaduk-aduk lumpur dipinggir sungai dengan kakimu.
"Aku pernah sekali melihat tetua itu menendang kucing, menghardik anak kecil yang tidak sengaja menabraknya ketika berlari, tidak mau menerima saran dari lawan bicaranya, baik itu dari yang lebih muda ataupun sepantaran dengan usianya." Katamu.
"Tapi itu tidak berarti dia tidak berpengalaman bukan? dan bukan berarti bahwa dia tidak pintar dalam banyak hal." timpal ku kepadamu waktu itu.
"Wujud dari banyaknya pengalaman dan luasnya pengetahuan adalah sikap rendah hati dan keterbukaan. Tak pernah ia berwujud keangkuhan dan sikap anti kritik, apalagi perasaan lebih baik dari orang lain." jawabmu.
"Lamamu bekerja tak pernah jadi ukuran apakah kau mahir dalam pekerjaanmu, karena angka pada hari dan tahun, bukan hal yang membuatmu mahir, tapi kerja keras, ketekunan dan rasa ingin belajar yang membuat kau mahir dan berpengalaman. Lamamu menjalani hidup tak pernah bisa jadi ukuran mutlak kau telah dewasa dalam bersikap dan bertutur kata, karena yang penting adalah bagaimana proses kita menjalani hidup. Kadang ada yang hidup sebentar, namun hidupnya diisi dengan kerja keras dan perbuatan baik kepada sesama. Ada juga yang umurnya panjang, tapi hanya diisi dengan hal-hal sia-sia dan bagaimana iya menyusahkan orang lain disekitarnya." lanjutmu.
Kau sedikit bergeser untuk mengambil batu sungai lalu menggosok-gosokkanya di telapak kakimu.
"Punya pengalaman yang matang, berarti bisa menerima perbedaan, memahami sudut pandang, dan mau mendengarkan orang lain dengan sabar." ucapmu, sambil kembali mencuci kakimu.
"Dan yang terakhir, mereka yang punya ilmu dan pengalaman yang banyak, tak akan pernah bercerita kebanyak orang dan menggembor-gemborkan betapa ia punya wawasan yang luas dan pengalaman yang banyak. Mereka yang punya ilmu dan matang pengalamannya cenderung tidak bercertia banyak, sebaliknya orang-orang yang miskin ilmu akan banyak bercerita tentang betapa ia punya ilmu dan wawasan yang luas." Ucapmu menambahkan, sembari mengambil sendal jepit yang kau simpan diatas batu besar di pinggir sungai.
Kau bergegas, aku mengikutimu dari belakang. Matahari sebentar lagi tertidur di balik gunung Lompobattang, sebuah isyarat untuk pulang dan membersihkan teras mushallah sebelum magrib menjelang. Dan sore itu, aku kembali kau buat berpikir, tentang perkataanmu, tentang bagaimana mengukur kualitas bukan hanya dari angka dan tuturan manis orang lain.
Post a Comment