Perkara lain tentang keputusan
Basineng, sudah berapa tahun berlalu semenjak terkahir kali kita bermain kartu kwartet? Atau bermain bola takraw dilapangan sekolah, dimana suara shalawat mesjid yang menjadi batas waktu kita harus kembali pulang?
Waktu berlalu sangat cepat Basineng, kita sudah lama tak bersua untuk sekadar bercerita panjang tentang omong kosong dan hal sia-sia yang sudah kita lakukan beberapa tahun terkahir ini. Waktu yang cukup untuk rumput liar bertumbuh dihalaman rumah kayu nenek disudut lapangan kampung kita, tempat menghabiskan lebih dari satu dekade umur kita.
Kita sekarang sedang berada dijalan yang telah kita pilih masing-masing. Aku memilih untuk merantau, kau memilih untuk menetap. Aku ingat ketika itu, kita berdebat tentang pilihan kita masing-masing. Kau tinggal bukan tanpa alasan, bukan karena tak mampu atau karena takut menghadapi dunia luar yang seringkali di gambarkan begitu keras di televisi hitam putih nenek dirumah. Begitupun aku pergi bukan sekadar ingin mencari tahu seperti apa dunia di luar dari desa kita.
"Ada yang ingin aku capai, ada hal ingin kucoba, ada mimpi yang ingin kuraih." kataku diakhir debat panjang disiang yang panas waktu itu.
"Aku tak pernah menghalangimu untuk tujuanmu itu." katamu menimpali.
"Aku hanya ingin kau memahami bahwa hal paling penting dalam memutuskan sesuatu adalah bertanggung jawab dengan keputusan tersebut. Tidak sedikit yang begitu percaya diri memutuskan sesuatu, merasa bahwa mereka telah mempertimbangkan baik dan buruknya keputusan tersebut, tapi lupa bahwa bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil bukan sekadar tentang 'mengetahui' baik dan buruk. Tetapi bertanggung jawab dengan keputusan yang telah diambil berarti secara mental kita siap menghadapi perkara-perkara yang akan muncul diluar apa yang telah kita pertimbangkan. Karena mengambil keputusan bukan sekadar tentang pertimbangan terkait hal-hal yang telah kita ketahui, tetapi juga hal-hal apa yang kemungkinan akan menyambut kita, diluar apa yang kita ketahui." katamu.
Aku lama mencerna apa yang kau katakan. Hingga lima tahun pertama setelah perdebatan kita, akhirnya aku bisa memahami arti dari kalimat panjang yang kau lontarkan waktu itu. Dimana pada akhirnya aku berada pada posisi dimana keputusan yang telah kuambil menyerangku dengan berbagai perkara yang tidak pernah terlintas dalam perencanaan terburukku sekalipun. Aku berada pada posisi, dimana aku terjebak dalam kotak yang setiap sisinya menggambarkan hal-hal buruk dari setiap keputusan yang kuambil.
Aku bahkan sudah berada dianak tangga terakhir untuk menyerah dengan keputusan yang kuambil. Dengan turun selangkah dan aku sudah tidak lagi memegang tanggung jawab terhadap keputusan yang telah kuambil.
Namun, mengingat kata-katamu telah membantuku untuk membuka kotak itu, membebaskan beban yang ada didalam pikiranku, tentang benar tidaknya, salah tidaknya, atau tepat tidaknya keputusan yang telah kuambil.
Ini semua tentang mental dan kesiapan akan hal-hal diluar dari apa yang telah kupertimbangkan, dari hal-hal yang kurasa telah kupahami dan siap untuk kuhadapi. Lari dari keputusan yang telah kuambil bukanlah jawaban yang betul-betul bisa menyelesaikan apa yang kuhadapi. Selama dampak dari keputusan itu tidak menjauhkanku dari Tuhan, jauh dari kebaikan, aku harus bisa bertanggung jawab dan siap dengan segala resiko dari keputusan tersebut.
Semoga kau baik-baik saja di sana Basineng, dan semoga kita bisa kembali bertemu, di rumah kayu nenek di sudut lapangan.
Baca juga: Perahu Kayu
Post a Comment