Kita Terpecah Bukan Karena Agama

Table of Contents


"Berhenti menyalahkan agama dan ras sebagai akar perpecahan, kita hanya bodoh kawan, itu yang menjadi masalah sebenarnya." 

Aku teringat percakapan kita beberapa hari yang lalu, Basineng. Kita duduk ditempat yang sama, sofa cokelat sepanjang dua meter dengan bantalan empuk yang mampu menopang manja pungung siapapun yang bersandar, disisi depan terdapat meja dimana teh, kue kering dan lembaran surat kabar tertata dengan tidak rapi. 

Kau masih mengunyah kue kering campuran dari jahe, gula merah dan kelapa yang disanggrai, dipadu sedimikian rupa hingga menghasilkan tekstur yang padat namun tidak begitu keras untuk dikunyah. Layar lebar 21 inchi menjadi titik fokus kau dan aku melihat apa yang tergambar disana, suasa riuh ricuh demonstrasi, propaganda, serta berita-berita beracun, tercampur menjadi satu. 

"Apa masyarakat sudah semakin lupa cara menerima perbedaan Basineng? Sehingga agama menjadi sebuah momok, perbedaan etnis menjadi sebuah permasalahan yang kemudian berkaitan atau lebih tepatnya dikait-kaitkan dengan lusinan masalah lainnya yang jika dipikir dengan lebih mendalam sama sekali tidak punya keterkaitan apapun. Perbedaan tidak lagi dilihat sebagai sebuah keniscayaan dalam proses hidup berdampingan" aku bertanya tanpa berpaling melihatmu. 

Kau tersenyum, lalu melanjutkan kunyahanmu. Tidak menggubris pertanyaanku. 

"Kenapa kita tidak bisa saling menerima?" lanjutku, bertanya tanpa peduli apa kau memperhatikan atau tidak. "Mereka dengan mudahnya terpengaruh hasutan-hasutan yang berisi kepentingan beberapa orang, hasutan yang menurutku tidak pernah sedikitpun mewakili kebaikan banyak orang, hasutan yang tidak pernah merekatkan, justru malah meregangkan pertalian sosial masyarakat." 

Kau masih sibuk dengan kunyahanmu. 

"Agama dan etnis menjadi tombak perang dalam memenangkan kepentingan segilintir orang, membuat mereka yang tidak paham apa-apa menjadi terlibat dan menggila, membuat mereka yang tadinya berdampingan menjadi orang-orang yang saling mencaci satu sama lain. Padahal aku tak melihat sedikitpun kebaikan dari apa yang mereka lakukan, hanya kebanggaan yang meroket karena sudah merasa membela apa yang mereka yakini." Lanjutku. 

"Kenapa kita harus terpecah karena perbedaan ras dan agama?" Ucapku kemudian, sebelum kau akhirnya menoleh dan menyelesaikan kunyahanmu. 

"Kita terpecah bukan karena agama atupun ras kawan." Katamu, 

"Kita terpecah karena kita bodoh!" lanjutmu. Kau melihat dahiku sedikit berkernyit, menangkap sebuah sinyal bahwa aku sedikit tidak setuju dengan kalimat terakhirmu. 

"Kita bodoh kawan, sehingga mudah terpecah, bukan karena agama ataupun ras. Kita bodoh karena kita sudah merasa telah mengetahui segala sesuatu hanya dengan membaca sepotong-sepotong artikel di media sosial yang entah oleh siapa diviralkan tanpa tahu benar tidaknya berita tersebut. Kita punya kebiasaan asal kunyah berita, tanpa tahu memilih dan memilah berita mana yang punya kadar valid yang betul-betul terpercaya. 

Kita bodoh karena kita sudah merasa mengenali agama orang lain hanya karena opini-opini yang dilemparkan oleh orang yang belum tentu punya kredibilitas untuk menilai agama, yang jangan-jangan mereka juga sama sekali tak paham dengan agama mereka sendiri, jika mereka punya. Kita bodoh karena dengan mudahnya mengeneralkan perilaku satu orang etnis tertentu sebagai perilaku universal etnis tersebut." kau berbicara panjang menanggapi semua pertanyaan yang tadi kulontarkan. 

"Kau memihak siapa?" tanyaku lagi setelah yakin bahwa kau sudah selesai dengan kalimatmu. 

"Kawan, berbicara tentang memihak, aku tak ingin memihak secara brutal, memihak secara buta. Agamaku dihina, aku tidak terima. Sekecil-kecilnya iman yang ada didiriku, aku tak senang jika ada orang yang tidak paham dengan agamaku, dengan seenaknya menghina. Tapi, aku juga tidak bisa dengan serta merta mengatakan bahwa semua orang dengan etnis yang sama dengan orang yang menghina agamaku adalah sama. Bukankah itu juga sama saja dengan mengatakan bahwa terorisme tertuju pada satu agama tertentu saja.

Aku suka melihat banyak saudara-saudaraku yang bersatu, merapatkan barisan untuk membela apa yang mereka yakini. Tapi segala sesuatu dengan kadar berlebih bukannya tidak baik, kawan? Kembali ke pokok pembicaraan awal kita, kita terpecah bukan karena ras dan agama. Kita terpecah karena kita malas untuk menelaah dan betul-betul memahami secara mendalam isu, kasus, fenomena, yang terpampang dihadapan kita setiap harinya. 

Kita tidak bisa serta merta mengaitkan satu hal buruk dengan semua hal-hal yang muncul kemudian, karena bukankah ketika kita melihat sesuatu dengan kacamata yang berdebu maka apapun yang kita lihat akan selalu kotor?" kau melanjutkan lagi kalimatmu dengan sama panjangnya dengan kalimat sebelumnya. 

"Berhenti menyalahkan agama dan ras sebagai akar perpecahan, kita hanya bodoh kawan, itu yang menjadi masalah sebenarnya." kalimat yang kau lontarkan sebagai penutup perbincangan kita hari itu. Kau kembali sibuk dengan kue jahe, menyeruput teh dan menonton berita yang masih memunculkan polemik-polemik yang terjadi di negara kita.

Post a Comment