Genangan Doa

Table of Contents
Langit masih semrawut, belum tertata awan dan segala kecerahannya setelah hujan meminta ruang untuk menggantung siang ini. Bias bias pelangi muncul diujung langit melengkung melintasi cakrawala yang baru saja mengeringkan diri.

"Terima kasih sudah terus memperjuangkanku sampai saat ini"

Sebuah kalimat yang membuat ia-laki laki dengan kaos putih polos- yang duduk disampingmu tetiba menoleh, memandang seraut muka yang memerah karena menahan malu akan kalimat yang baru ia ucapkan. Lelaki itu tersenyum, memberi sedikit cahaya untuk singgah di kedua pipinya yang ikut mengembang bersama dengan larik senyum yang tertarik keatas.

"Tak usah berterima kasih, karena apa yang kuperjuangkan-kamu-memang pantas untuk kuperjuangkan...." ucap lelaki itu tanpa mengalihkan wajahnya dari memandang dua bola matamu.

"Dan juga..." lanjutnya, "Terima kasih sudah bertahan dalam hubungan ini, hubungan yang mungkin sedikit membosankan karena kekakuanku".

Kau tersenyum, hampir tertawa. Ginsul disela-sela bibirmu membuat keindahan senyum itu tak pelak seperti sebuah oase ditengah panas gurun, sejuk, menyegarkan.

"Tak usah berterima kasih, karena dimana aku bertahan-kamu- adalah apa yang pantas kupertahankan". Ucapmu meniru kalimat yang ucapkan lelaki itu.

Waktu mengambil jeda, dari kalimat terakhir yang terucap. Memberi sedikit ruang pada gugup untuk menyusup diantaranya.

"Jadi, di musim penghujan ini. Apa yang akan kamu lakukan dalam mengusir jenuh?" Ucap lelaki itu yang kali ini memandang ujung pelangi yang mulai bias termakan cahaya yang mulai penuh memenuhi langit.

"Diam dirumah, melakukan apa yang sering dilakukan remaja seusiaku" ujarmu sambil tersenyum. "Kamu sendiri?" Kau balik bertanya.

"Aku ? Emmm...membaca mungkin, atau menulis. Sembari berharap dalam tiap sepi musim penghujan ada celah waktu dari seseorang untuk bisa kembali saling bertemu dan melepas rindu." Jawab lelaki itu sembari memperhatikan genangan air yang beriak tetiba karena gerimis yang tanpa terasa menjatuhkan dirinya diam-diam. Rupanya langit kembali memberi ruang pada mendung, cerah yang sesaat.

Kau tersenyum, lagi. Sesaat sebelum kalian berdua berdiri hampir bersamaan dan mulai berjalan menjauh, gemericik air yang beradu dengan tanah mulai bersahut-sahutan deras.

"Semoga harapanmu akan pengisi sepi dan pelepas rindumu di musim penghujan dapat terkabul." Ucapmu berbalik.

"Hahaha.... harapan itu akan terkabul. Ketika kau menyempatkan waktu untuk  sekedar makan bersama setiap sepi itu datang... dan akan terkabul doaku untuk rindu-hari itu-, tapi belum rindu untuk besok, dan besoknya, dan besoknya, dan besoknya, dan hari-hari berikutnya. Hahahaha." Ujar lelaki itu balik menjawab pertanyaan yang kau lontarkan.

Kalian berdua tertawa kecil sembari saling menjauh, dengan kepercayaan bahwa suatu saat sepi itu, rindu itu akan berlabuh pada waktu dan saat yang tepat. 

Hujan deras mengguyur, menelan kalimat kalimat yang terlontar. Membungkusnya rapi dalam sejuk lapisan genangan air. Menunggu untuk menguap dan mencapai doa dilangit ketika hangat menimpa bumi.


Post a Comment