Edelweis
Table of Contents
Hati dan rasa sayang. Tidak ada yang tidak masuk akal ketika gumpalan daging di balik rusukmu itu sudah merasakan cinta.
Aku sudah lupa kapan terakhir
kali meneguk sejuk embun di pagi hari, merasakan sapaan hangat mentari dikulit
wajahku. Duduk dan menghabiskan waktu dengan buku cerita lusuh yang ku ambil
diam-diam diperpustakaan sekolah, sembari menunggumu datang dengan jagung
sangrai yang sudah kau siapkan di toples kaca.
Tiga tahun lalu, padang luas
dengan hamparan bunga Edelweis menjadi tempat rutin yang kita datangi di setiap
sore akhir pekan. Menjadi karnaval dengan buaian angin semilir dan pemandangan yang
memanjakan mata, Edelweis yang tersusun rapi terhampar dan menjorok sampai ke
ujung tebing. Menyajikan beberapa bukit lain dan lembah yang berwarna hijau
sedikit kekuningan, diterpa semburat emas dari matahari yang mulai malas
berbagi sinar.
Disaat senja mulai mengubah langit
biru menjadi jingga bercampur hitam, kau suka berlari dan memainkan ujung rok
yang kau pakai, membiarkan angin menghempas rambutmu dan tergerai lembut
mengikuti iramanya. Mencoba menangkapi dandelion yang beterbangan sambil
tertawa lepas dengan mata yang tak henti-hentinya menatap teduh kearahku.
Aku
hanya diam dan duduk di sisi lain padang yang luas itu, memandangmu dan
membiarkan semua keindahan ini terekam tanpa sepersekian detik pun terlewatkan.
Setelah lelah berlari dan tertawa
lepas, kau akan duduk sambil mengusap-usap lembut Edelweis, lalu diam dan
berpaling kearahku sambil berucap “Aku suka Edelweis, ia melambangkan
keabadian. Keabadian akan rasa sayang.” Lalu kau kembali mengulas senyum.
“Itu Cuma
mitos,” ucapku sambil menatap lentik matamu. Kau diam, dan mengalihkan
pandangan, memandang langit yang semakin menghitam. “Mitos dapat mengalahkan
logika dan keyakinan ketika sudah bersanding dengan ini,” kau mendekatkan
telunjukmu kedadaku, “Hati dan rasa sayang. Tidak ada yang tidak masuk akal
ketika gumpalan daging di balik rusukmu itu sudah merasakan cinta.”
Kau berdiri dan mulai berjalan
menjauh, lalu berbalik dan tersenyum. “Mari kita pulang, hari semakin gelap.” Di
iringi sepoi malam yang mulai dingin, kau dan aku beranjak meninggalkan padang
tempat bunga abadi.
Tiga tahun berlalu, aku duduk
diatas rerumputan yang masih basah oleh embun. Ditanganku sudah ada seikat
bunga, bunga yang selalu menjadi favoritmu, bunga yang selalu kau percaya
sebagai tanda keabadian akan rasa sayang. Hari ini aku membawakannya untukmu, aku berharap bisa kembali menikmati senyum dan binar mata lentikmu.
“Kau benar
tentang hari itu, tentang mitos yang bersanding dengan rasa sayang. Mitos dapat
mengalahkan logika dan keyakinan ketika rasa cinta sudah bersanding dengannya.
Bahkan untuk sebuah keabadian yang mustahil. Sayangnya aku terlambat untuk menyampaikannya.”
Aku bertumpu pada lututku, menatap nisan yang bertuliskan namamu. “Kuharap
bunga ini bisa menemanimu dalam keabadian, Aku mencintai mu.
Post a Comment