Selimut Rindu
Table of Contents
Kutuliskan kalimat yang terus berputar dikepalaku, membuatku
terjaga sampai hari berganti lewat tengah malam. Ia menjadi sebuah mantra yang tak terapalkan
dalam menyampaikan kasih yang tersimpan dibalik lidah kelu yang tak mampu berucap.
Ia menjadi penghubung bagi dua rindu yang tak kunjung bertemu sekaligus obat
bagi yang merindu. Ialah kata, selalu punya dua sisi, ia bisa menjadi racun
pembunuh yang menyakitkan dan jadi penyembuh yang sangat mujarab, tergantung
bagaimana sang perangkai membentuknya, apakah ia racun atau penyembuh ?
Malam selalu punya cara memberikan kejutan, ia selalu punya
cara dalam memberikan kesempatan bagi kita untuk menyulam mimpi lewat lelap
tidur. Namun entah kenapa malam ini menjadi malam yang sangat panjang, malam
yang enggan memberi kantuk.
Mungkin ini salah satu buat malam untuk menanam
gelisah dari rantai perindu yang semakin melilit. Dan pada malam ini kubuang
kantukku pada secarik kertas dengan menulis mantera penyambung rindu,sebuah
mantera yang mampu memperpendek jarak. Mantera yang mampu menyalakan lampion
yang pupus.
“Maukah kau menemaniku malam ini ?” tanyaku pada bayang
imaji dibalik cermin.
“Aku ? Apa kantuk tak
mendekatimu malam ini ?”jawabnya.
“Tidak, kurasa kantuk enggan untuk singgah di pelupuk
mataku,”
“Kenapa ?”
“Rindu telah mengisinya, memnjadi penyangga di dua pelupuk
mataku.”
“Rindu ? sejak kapan
rasa itu kembali terkecap? Terakhir kita bicara kau mengatakan ia tak lagi
hadir?
“Sejak kapan ? aku tak tahu, apa benar aku berkata seperti
itu ? mungkin aku sudah keliru. Karena sekarang ia begitu nyata. Iya, sangat
nyata.”
“ Maaf kawan, mungkin
untuk malam ini aku tak bisa menemanimu, cicipilah rasa itu seorang diri.”
Bayang imaji tersebut lamat-lamat menghilang dan tak
terlihat lagi di dalam cermin.
Apa yang harus kulakukan ?
Post a Comment